Pemerintahan baru Amerika Serikat yang menarik perhatian seluruh dunia tidak hanya menyisakan kegembiraan dan harapan besar di pundak presiden terpilih Barack Husein Obama Jr yang sepertinya menjadi “the real agent of change” tetapi juga pada semua “awak” yang dinahkodainya. Kedatangan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton beberapa hari yang lalu ke Indonesia merupakan salah satu bukti bagaimana era baru (mungkin) pemerintahan Obama serta hubungan AS dengan negara-negara dunia (Indonesia) telah dimulai.

Indonesia menjadi lawatan kedua Hillary Clinton setelah Jepang dalam kunjungan kerja resminya setelah menjabat Menlu AS. Kunjungan mantan ibu Negara AS (1992-2000) yang berlangsung selama 2 hari (18-19/2) tersebut menjadi suatu hal yang dinantikan. Menariknya kedatangan politisi kelas dunia ini tidak hanya merepotkan protokoler resmi istana (negara) tapi juga khalayak atau masyarakat umum. Tepatnya penyambutan hingga liputan program kerja beliau di tanah air mendapat perhatian penuh dari berbagai lapisan masyarakat.

Kunjungan perempuan bernama lengkap Hillary Rodham Clinton ke kawasan Asia, khususnya Indonesia yang berhasil menorehkan sejarah baru bagi negara AS tak ubahnya seperti kedatangan pop star (selebritis) kelas dunia yang datang untuk konser. Hal ini tentunya juga tidak terlepas dari peran media yang secara terus menerus “menggembar-gemborkan” kedatangan mantan senator New York tersebut mulai dari beberapa hari sebelum ia menginjakkan kaki di tanah air, penyambutan kedatangannya di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta (18/2) serta berbagai liputan kerja selama 2 hari penuh oleh media massa (cetak dan elektronik) disiarkan secara langsung (live) maupun rekaman (recorded).

Optimisme kedatangan Hillary Clinton sebagai angin segar bagi pemerintahan Presiden SBY kerapkali menjadi headline di media massa. Betapa tidak, Indonesia yang sebelumnya menjadi prioritas kesekian dalam peta pemerintahan AS selama beberapa dekade hanya dalam “satu malam” menjadi negara yang diperhitungkan dalam percaturan politik dunia ke depannya. Berkah ataukah musibah mengingat kedatangan Menlu AS sekaligus istri presiden Bill Clinton juga tidak luput dari demonstrasi yang sudah mentradisi serta sikap skeptis dan sinisme dari beberapa pihak yang pesimis. Kehadirannya di tanah air dianggap hanya sebagai “ucapan terima kasih” Presiden Obama yang juga bocah Menteng itu atas dukungan yang diberikan pra hingga pasca pilpres AS lalu kepada bangsa Indonesia.

We believe in change slogan inikah yang menjadi pegangan pemerintahan SBY yang segera berakhir pada 2009 ini dalam menyikapi hubungan bilateral dengan negara adidaya tersebut? Jika itu bukan hanya slogan tak ada salahnya kita mencoba percaya. Toh, Amerika Serikat (sekarang) juga membutuhkan uluran tangan negara lain dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Setidaknya beberapa pertemuan telah membuahkan hasil dan kesepakatan yang menguntungkan kedua negara. Sektor keamanan dan kesejahteraan rakyat (peace corp), pendidikan serta kemajuan teknologi dan informasi menjadi perhatian utama kedua negara.

Sanggup dan beranikah Indonesia memainkan peran penting di kancah perpolitikan dunia serta memanfaatkan momen kedatangan Menlu AS, Hillary Clinton untuk mengangkat kembali citra atau kedaulatan bangsa yang telah “pasai” diobok-obok oleh negara asing baik itu pra maupun pasca kemerdekaan ini. Entahlah, jika perangai elit politik masih minus dalam berbagai aspek. Serakah, culas, tidak jujur, pengikut/ pengekor, tanpa inisiatif minim inovasi dalam mengusahakan atau menyelenggarakan kesejahteraan rakyat tentunya pertanyaan di atas hanya akan mendapat jawaban yang sama seperti masa-masa sebelumnya. Ibu pertiwi hanya menjadi tempat “transit” kepentingan-kepentingan asing yang terus berlomba menyejahterakan diri sendiri.

Jika selama ini anggapan negatif sering melekat pada bangsa asing sebagai penjajah yang selalu memanfaatkan tanah jajahannya dalam berbagai bentuk sudah saatnya kita instropeksi diri. Azas manfaat bangsa asing akan menjadi boomerang andai “orang pintar yang memiliki legal status” dalam mengolah kekayaan bangsa ini juga memiliki smart power sebagaimana ungkapan negara adidaya dalam mengubah wajah kusam AS di masa lalu. Mungkinkah…?

Apa yang akan dilakukan dan terjadi setelah kunjungan kerja Hillary Clinton berakhir serta pesawat resmi (Menlu AS) Boeing 757-200 take off meninggalkan negeri masa kecil Obama ini, presiden ke-44 AS menuju negara berikutnya dalam agenda kunjungannya? Hanya sisa pemerintahan SBY dan periode selanjutnya yang mampu menjawabnya. Apakah masih jadi follower (pengikut) ataukah leader (leader) seperti yang seringkali diucapkan Hillary dalam berbagai kesempatan? Bagi rakyat, cukup perbanyak doa! ***