Cari

Wahrima's Weblog

Dunia Sederhanaku!

bulan

November 2009

perempuan penadah hujan

dari balik selendang putih
perempuan penadah hujan
ku melihat taburan angin
suka kadangkala duka
dalam hari laksana debu

New Moon Vs Ada Apa Dengan Cinta

Film New Moon yang merupakan kelanjutan dari Twilight Saga pada tanggal 20 November lalu memang telah secara resmi diputar di ioskop2 di dunia. Namun ada hal menarik yang penulis temui, yaitu poster film tersebut.

Di salah satu poster film tersebut yang penulis lihat via internet ada sesuatu yang tidak asing. Angle pemotretan poster film tersebut sekilas mirip dengan poster film Ada Apa Dengan Cinta yang booming beberapa tahun lalu. Namun hanya modelnya saja yang beda. New Moon dengan pasangan Kristen Stewart dan Robert Pattison dan Ada Apa Dengan Cinta dengan “pasangan perfect” versi Indonesia, Dian Sastro dan Nicholas Saputra.

Buat perbandingan silahkan liat foto-foto berikut :

New Moon

Ada Apa Dengan Cinta

So, gimana tanggapan kawan-kawan. Indonesia bisa menjadi perintis juga kan (kalau boleh narsis) hehehe…

“Mencari Ali” yang Bikin Heboh

Tanggal 20 November yang lalu merupakan hari ulang tahun salah seorang sahabat sekaligus sepupuku. Usia kami yang tidak terpaut jauh menjadikan aku dan dia menjadi sepasang sahabat yang dekat. Keakraban kami dimulai sejak kami berada di sekolah yang sama (MTs). Maka sehari sebelum ulang tahunnya itu, sebagai hadiah ulang tahun aku mengirim sebuah puisi via facebooknya. Namun puisi yang berjudul “mencari ali” itu menimbulkan rasa penasaran bagi teman-temanku yang lain. Aku sengaja men-tagged tulisan tersebut. Berikut merupakan puisi “mencari ali” yang terinspirasi dari kisah nyata kami berdua 9waktu masih sekolah).

aku ingat tahun-tahun lalu
di antara langkah-langkah gelisah
nyanyian-nyanyian sumbang
sepulang sekolah
di hari-hari resah serupa ibadah itu
kita menatap ke rumah ali, kau ingat
kediaman itu sederhana
dengan pagar kusam
namun di situ ada ayunan
tempat segala canda dan narasi-narasi
silih berganti kita lontarkan
kau dan aku mencari ali
lalu tahun-tahun membentang kenang
kini, rerumputan di rumah ali sudah meninggi
ruangnya seperti hampir roboh
warna putih itu mulai pudar
sayang aku tak dapat menemukannya di situ
derap langkah itu kini kembali ramai di benakku
di antara mimpi yang berjatuhan
dari jarum usiamu

NB :
To: Aking (sepupuku)
padang, 19 Nov 2009
“MET ULTAH SOBAT!!!”

Hidup itu (masih) Indah!

Happy Life
Acapkali gagal dalam meraih apa yang kita inginkan tentunya bukan suatu hal yang menyenangkan. Padahal untuk meraihnya (rasanya) kita telah mengerahkan seluruh kemampuan, perasaan, kemauan dan harapan. Namun entah apa rahasia dibalik semesta, apa yang kita cita-citakan itu sama sekali tidak tercapai, tidak terjadi.

Banyak kejadian atau peristiwa yang menandai kegagalan-kegagalan yang pernah aku alami. Gagal masuk ke perguruan tinggi yang aku inginkan, gagal pergi (ke Jakarta) lagi, gagal yang menjaga tali pertemanan, bahkan yang terakhir gagal dikompetisi yang aku ikuti dan masih banyak lagi. Namun alhamdulillah sejauh ini aku masih dapat melalui kehidupanku dengan tenang.

Entahlah, aku hanya bisa meyakini rencana Tuhan itu lebih “besar” dari yang aku perkirakan. Maka selama menunggu “keberhasilan-keberhasilanku” itu, menikmati dan menjalani hidup dengan sebaik-baiknya merupakan solusi akhir yang aku pilih.

Hidup terlalu berharga untuk disis-siakan dan terlalu egois rasanya untuk “memaki-maki” kehidupan yang hingga detik ini (menurutku) masih indah itu!

Agnes ke Padang!

Beberapa waktu lalu, tepatnya Jum’at (30/10) lalu Kota Padang “diguncang” dengan hal yang mengejutkan. Sebuah kejutan manis di tengah nesatapa yang sedang melanda. Agnes Monica, Rezky Aditya, Feni Rose dan Baim Cilik, Tim Silet dan RCTI berkesempatan untuk hadir mengobati luka para korban Gempa. Selama satu hari penuh mereka akan berjalan dan mengunjungi beberapa tempat di Kota Padang.

Agnes Monica dan Walikota Padang

Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Yayasan Panti Asuhan ‘Aisyiyah Koto Tangah. Kedatangan rombongan artis dan tim Silet dan RCTI di Panti Asuhan tersebut tidak hanya disambut dengan hangat oleh warga Panti Asuhan yang kebanyakan anak-anak itu dengan antusias namun juga oleh ibu-ibu, bapak-bapak dan warga sekitar. Kedatangan pertama Agnes di Kota Padang ini secara tidak langsung menjadi hiburan gratis bagi warga kota Padang yang ditimpa musibah gempa (30/9) lalu.

Kunjungan ini menjadi berkah tersendiri. Di samping datang untuk menghibur warga kota PadaNG di beberapa tempat, rombongan ini juga memberikan bantuan pembangunan gdung sekolah yang baru. Tentu saja untuk pembangunannya akan dipantau oleh Tim Silet dan RCTI. Dalam acara yang berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 11.00 tersebut juga tampak hadir (memberikan)0 sambutan Ibu Ketua Yayasan pengelola Panti Asuhan, Dra. Hj. Yulintidar Syafei serta Bapak Walikota Padang, Fauzi BAhar. Sebagaimana dalam sambutannya, Dra. Hj. Yulintidar Syafei mengatakan, “Kedatangan Agnes beserta rombongan merupakan suatu kegembiraan bagi korban bencana yang ada di Padang. Ini merupakan “Sengsara Membawa Nikmat!”

“Pengantin Subuh”,

Sebuah Persembahan 10 Tahun pertama (1999-2009)

zelfeni Kampung halaman dengan segala rupa persoalan yang membelenggunya memang akan menyajikan banyak kegundahan, kegelisahan, kegamangan serta harapan-harapan yang patut untuk diceritakan, apabila mungkin juga menghadirkan sebuah solusi. Begitu pula halnya dengan ranah Minang. Ranah yang sejak dahulu di antara gelimang kekayaan dan pesona alam yang dimilikinya secara diam-diam telah banyak melahirkan “pencerita-pencerita” ulung. Tentunya tak perlu lagi disebutkan siapa saja mereka, juga mengalami hal serupa. Perubahan zaman yang sejauh ini belum mampu ditaklukkan anak nagari justru semakin menggerus nilai-nilai adat yang dahulunya dipegang teguh.

Kekhawatiran akan memudar dan pupusnya nilai-nilai adat dan persoalan lain yang melingkupinya kembali menjadi perhatian dan bahasan dalam karya penulis negeri ini. Ragam perubahan yang membuahkan persoalan-persoalan bagi anak nagari kembali menjadi tema sentral dalam kumpulan cerpen Pengantin Subuh yang ditulis oleh Zelfeni Wimra. Pengantin Subuh merupakan kumpulan karya (cerpen) pertamanya yang sekaligus menandai 10 tahun pertama (1999-2009) kegemilangannya dalam dunia kepenulisan. Bukan hanya pada tingkat lokal tetapi juga nasional. Kisah-kisah yang tersaji di dalamnya bukan hanya patut untuk dibaca, tetapi juga sudah selayaknya menjadi sesuatu yang harus disimak, direkam hingga dapat mengurai kembali benang kusut yang melanda tanah leluhur para pahlawan kemerdekaan bangsa ini.

Beberapa judul cerpen di dalamnya seperti, Rumah Kayu Bersendi Batu, Perempuan Bau Asap, Induak Tubo, Menjelang Subuh serta Yang Terbungkuk-bungkuk di Halaman mewakili keprihatinan penulis yang lahir pada tanggal 26 Oktober 1979 akan kampung halamannya (Minangkabau) yang semakin lengang. Tanah rantau kini bukan lagi sekedar sebuah penghidupan. Tempat mencari hidup, tempat mencari uang. Namun sudah berubah menjadi impian, kehidupan baru anak nagari dan nafsu duniawi yang harus dipenuhi. Seperti ketika nafsu untuk menjadi TKW yang telah terpatri di dalam dada Daro mampu membiusnya untuk berpisah dari keluarga, tidak menggubris mamaknya (Mak Sutan), meninggalkan kampung halaman dan secara diam-diam berjingkat di antara sunyi dalam “Menjelang Subuh”. Kesunyian yang mendera perempuan yang terbungkuk-bungkuk di halaman melihat rangkiang dan rumah gadang yang telah ditinggal pergi ketiga putrinya ke tanah rantau. Begitu pula dengan beberapa judul di atas. Pepatah karatau madang di hulu, babuah baguno balun – marantau bujang dahulu di rumah baguno balun lambat laun serupa boomerang yang melayang ke tanah tempat ia semula dilempar. Dilema dan konflik batin akan senantiasa bermunculan dari sebuah isyarat adat (Minangkabau) ini.

Bukan hanya kegelisahan akan nasib kampung halaman ataupun keselamatan adat (Minangkabau) yang dibingkai dalam kumpulan cerpen yang tersaji sebanyak 22 judul ini saja yang menarik. Namun juga penyesalan, harapan, ironi serta pencarian akan Tuhan (agama) yang menyelubungi kisah lainnya. Serupa yang terurai dalam judul, Madrasah Lumut, Bunga dari Peking, Pengantin Subuh, Jalan Mati, Madah Anak Laut, dll. Penulis dengan kelihaiannya mampu untuk merunut kesejatian manusia akan perasaan ingin tahu akan segala sesuatu serta mencari jawabannya. Maka tak salah kiranya jika buku ini pantas untuk menjadi koleksi berikutnya. Selain cerita dan kisah, apalagi yang dapat dikenang seseorang (anak nagari) selain keriangan, keluguan dan keakraban dengan tanah leluhur di masa sebelum rantau yang kelak (juga) kan menyergap sekujur tubuh, menghantarkan kepergian?! Padang, 21 April 2009

NB :
Judul : Pengantin Subuh
Penulis : Zelfeni Wimra
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Jakarta, 2009
Tebal hal : 200 halaman
Resensiator : Ade Faulina

Gempa Bumi di Kotaku

Gempa bumi, sebuah kata yang dalam beberapa tahun terakhir semakin akrab dalam hidupku. Kata ini bukan lagi hanya sekedar istilah dalam ilmu pengetahuan alam sebagaimana yang aku pelajari selama ini. Terlebih ketika statusku masih “siswa” (SD/ SMP) gempa dan tsunami selalu beriringan dalam satu pertanyaan pada saat mengikuti ujian. Pada waktu itu gempa dan tsunami yang aku tahu hanya terjadi di Jepang, tidak di tempatku. Beranjak dewasa pemahaman ataupun pengetahuanku selama ini dihadapkan pada kenyataan bahwa negaraku justru juga memiliki potensi yang jauh lebih besar untuk terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami. Maka “aku keliru”.

P9280196
Gedung LIA yang hancur

Gempa bumi berkekuatan 7,9 SR yang mengguncang negeriku menjadi semacam klimaks akan berbagai ramalan para ahli yang selama ini diperdebatkan. Guncangan gempa yang terjadi pada 30 September lalu jauh lebih dahsyat dari gempa pada waktu-waktu sebelumnya. Tentang korban jiwa, mental, dan harta benda serta yang lainnya tak perlu lagi aku sebutkan. Liputan media massa local, nasional dan internasional dapat menjadi gambaran betapa dahsyat gempa yang berpusat di kota Pariaman, Sumatera Barat tersebut. Bagi diriku pribadi gempa ini akan menjadi sebuah ingatan yang akan terkenang seumur hidup. Sebagaimana liputan media massa selama ini kepingan-kepingan peristiwa pra dan pasca gempa pun aku torehkan sebagai sebuah catatan miris serta peringatan perlunya bersahabat dengan alam.

1. Getaran Hebat dan Mati Lampu
Aku dan Ibu baru saja tiba di rumah usai menghadiri rapat di organisasi tempat ibuku bergabung sore itu. Sesampainya di rumah, tidak ada kegiatan istimewa yang kami lakukan sesudah itu. Aku dan ayah menonton tayangan TV, Ibu merapikan file-file organisasi yang berserakan di kamarnya. Singkatnya semua berjalan normal. Namun kira-kira 30 menit kemudian kami bertiga merasakan getaran yang tak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa itu gempa. Pada awalnya kami mengira getaran tersebut hanya gempa “biasa” dengan skala yang tidak terlalu besar. Meskipun demikian seperti yang telah diajarkan selama ini, ketika gempa terjadi usahakan untu selalu “berada di luar rumah”.

Kami pun tiak menyangka beberapa detik kemudian getaran semakin kuat. Getaran hebat yang beberapa hari kemudian aku ketahui terjadi pada pukul 17.16 tersebut tidak hanya mengakibatkan kepanikan, kebisingan ataupun hysteria orang-orang (tetangga) yang berada di sekitar rumahku. Namun juga menyebabkan pemdaman serentak listrik secara serentak di kawasan kota Padang, termasuk di tempat aku tinggal. Kebiasaan untuk segera mencari tahu informasi usai gempa tak lagi dapat kami lakukan. Karena barang-barang elektronik yang kami miliki sama sekali tidak berfungsi. Mulai dari TV, radio, internet hingga HP pada saat itu menjadi alat-alat yang tidak berguna yang pada hari-hari biasa tentu menjadi benda kebangaan yang wajib dimiliki.

2. Serasa dalam Adegan Film
Jika memutar kembali kepingan-kepingan awal saat gempa, benar-benar serasa dalam adegan film. Orang-orang bertebaran, berpegangan tangan, merangkak, tangisan bayi dan orang dewasa serta asma Allah terdengar di mana-mana untuk saling menguatkan diri di tengah goncangan gempa. Begitu pula denganku. Saling berpegangan tangan dala kepasrahan bersama kedua orang tua, berkat pertolongan Allah SWT kami pun selamat. Meskipun demikian shock usai gempa masih belum reda. Bukan lagi karena goncangan gempa tetapi kekhawatiran akan keadaan beberapa anggota keluarga yang tidak bersama dengan kami. Kakak dan tiga orang adik sepupuku belum memberikan kabar. Sore sebelum gempa masing-masingnya berangkat ke pasar, bioskop dan kampus.
Senja berangsur kelam. Sore yang mencekam berganti malam nan syahdu. Suara azan di mana-mana. Setelah penantian selama beberapa jam, anggota keluarga kami alhamdulillah kembali dengan selamat. Perjalanan untuk menyelamatkan diri masih berlanjut. Perlahan kami pun meninggalkan perbukitan yang memang dijadikan sebagai jalur evakuasi oleh pemda. Adegan-adegan film pun kembali berseliweran di depan mata kami. Bangunan-bangunan yang roboh, lapangan-lapangan terbuka yang dipenuhi oleh masyarakat dengan bekal seadanya serta lilin-lilin sebagai penerang ramai kami jumpai di kiri-kanan jalan, ibu-ibu yang dengan gelisah mencari jalan pulang, bapak-bapak dalam kendaraan yang melaju dalam kecepatan tak menentu. Dari seberang jalan aku pun melihat serombongan mahasiswa (baru) yang panik sedang mengikuti petunjuk yang diberikan oleh seniornya. Ditambah dengan bunyi alarm, sirine ambulans, pemadam kebakaran yang menjadi pelengkap mencekam dan tragisnya hari itu.

3. Merebus Air Hujan
Hari pertama (Rabu, 30/9) berlangsungnya gempa tidak hanya menyisakan serentetan “kejutan” tetapi juga ketegangan, kecemasan dan kekhawatiran yang silih berganti. Tidak cukup hanya pemadaman lsitrik yang dilakukan oleh PLN, beberapa jam kemudian giliran Air PAM yang tidak lagi berfungsi “mati”. Jangankan air untuk mandi, untuk mencuci tangan barang setetes pun tidak ada. Kenyataan yang sekejap kemudian aku sadari menjadi benda yang benar-benar berharga. Aku pun hanya dapat menarik napas menyesal. Teringat akan pesan Ibu agar selalu menghemat penggunaan air dan listrik. Pfiuuuhhh….
Tapi Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang meskipun dengan kondisi air dan listrik mati (padam), Tuhan (Allah SWT) menunjukkan kemurahannya. Dari kejauhan aku melihat langit berubah warna. Senja nan merah pun pudar, diganti awan kelabu dan tampak berat. Subhanallah, langit mencurahkan karunianya. Desir angin dan hujan samara dan semakin jelas memecah sunyi. Hujan secara merata turun di kota Padang. Kekhawatiran akan kekurangan air untuk sementara dapat teratasi. Maka air untuk mandi, minum, hingga cuci piring kembali tersedia. Salah satu hal yang akan aku kenang, kami “merebus air hujan” untuk persediaan minum beberapa hari ke depan.

4. Hal-hal Aneh dan Tragis
1. Kemarin (Jum’at, 2/10) siang kami dikejutkan oleh fenomena aneh di langit, yaitu sebentuk efek hallo yang menimbulkan lingkaran hitam serta pantulan sinar serupa pelangi di antara lingkaran matahari.
2. satu hari usai gempa (Kamis, 1/10) aku melihat ada dua laying-layang yang melenggak-lenggok di langit. Di sebelahnya rembulan yang tidak penuh pun menambah
3. Lihat masyarakat antri minyak tana. Biasanya Cuma lihat di TV, abis gempa semua gambar itu justru ada di depan mata.

Atas ↑

Wahrima's Weblog

Dunia Sederhanaku!

Rara89's Weblog

Just another WordPress.com weblog